PILKADA SERENTAK 2020

MENEGUHKAN PERLAWANAN & MENOLAK “MAHAR” POLITIK

Selasa, 08 Oktober 2019 - 16:19:10 WIB - Dibaca: 2908 kali

(Paradil Iwel/Jambione.com)

Perhelatan pesta demokrasi ditingkat local khususnya Provinsi Jambi akan digelar atau lebih dipahami pemilihan kepala daerah (Pilkada) Tahun 2020 dengan agenda Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jambi serta pemilihan Bupati/Wali Kota di 5 Kabupaten/Kota se-Provinsi Jambi untuk periode 2020-2024. Pemilihan/Pilkada yang dilaksanakan secara serentak pada 23 September 2020 terdiri dari 9 Provinsi, 224 Kabupaten dan 37 Kota, tahapan persiapan telah dimulai pada oktober 2019 dengan terbitnya peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2019 tentang Tahapan, Program dan Jadwal penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali kota Tahun 2020. Seiring berjalannya persiapan penyelenggaraan pilkada, sejumlah Partai Politik (Parpol) ditingkat Provinsi maupun Kabupaten/kota diprovinsi Jambi khususnya telah melakukan penjaringan, seleksi atau membuka pendaftaran bakal calon kepala Daerah periode 2020-2024 yang bakal diusung.

Focus pertama public sebahagian tertuju pada bakal calon atau figur-figur calon yang layak atau yang menyatakan siap maju berkompetisi pada pemilihan Gubernur, Bupati atau Wali Kota kedepan, tentu Kepala daerah yang terpilih yang diharapkan kedepan adalah kepala daerah yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan yang berlangsung secara langsung, umum, bebas, rahasia serta jujur dan adil (Luber dan Jurdil) lebih baik dari hasil pilkada sebelumnya.

 

Kedua, perhatian public tentang “mahar” politik. Banyak kalangan tampak lebih memersepsikan soal mahar dengan praktik ”jual beli” dukungan antara calon dalam pilkada atau pilgub (juga dalam pileg dan pilpres) dengan parpol. Karena itu, mereka memandang negatif praktik ”mahar” dalam percaturan politik. Praktik mahar politik mencerminkan terjadinya pergeseran arti istilah atau konsep mahar (bahasa Arab mahr, bahasa Inggris dowry) dalam wacana publik Indonesia. Mahar yang semula terkait agama (Islam) kian populer dalam wacana dan praktik politik masa demokrasi pasca-Soeharto  (baca : https://nasional.kompas.com/read/2016/03/16/10594231/Mahar.Politik.Politik.Mahar).

Namun “mahar” politik tidak dikenal dalam undang-undang atau peraturan perundang-undangan pemilu maupun pemilihan. Lebih dekat kata “mahar” politik dapat maknai dengan istilah “Imbalan”. Terkait Imbalan, Bagaimanakah larangan dan sanksinya..? dan bagaimana mencegah dan menindaknya..?

Dalam Pasal 47  ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas Undang-Undangn Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi Undang-Undang ; telah diatur larangan bahwa Partai Politik atau gabungan Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. pada ayat (4) disebutkan ; Bahwa Setiap orang atau lembaga dilarang memberi imbalan kepada Partai Politik atau gabungan Partai Politik dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.

Kemudian sanksi tegas bersifat administratif adalah pembatalan sebagai calon sebagaimana disebutkan pada ayat (5) yaitu ; Dalam hal putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menyatakan setiap orang atau lembaga terbukti memberi imbalan pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota maka penetapan sebagai calon, pasangan calon terpilih, atau sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota atau Wakil Walikota dibatalkan. Sanksi denda lain adalah denda sebesar 10 (sepuluh kali lipat dari nilai imbalan yang diterima oleh setiap Parpol atau gabungan parpol yang terbukti.

Kewenangan menindak dugaan pelanggaran tindak pidana pemilihan terhadap perbuatan melawan hukum dengan menerima atau memberikan imbalan menjadi kewenangan Pengawas Pemilihan yang ditangani melalui unit Sentra Penegakkan hukum terpadu (Sentra Gakkumdu). Upaya menjerat dengan ancaman sanksi pidana dapat dikenakan kepada anggota Partai Politik atau gabungan Partai Politik, lembaga atau setiap orang yang menerima atau memberikan “imbalan” dalam proses pencalonan. Sanksi ini dapat dijerat atas pelanggaran tindak pidana pemilihan terhadap pasal 187B dan 187C Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 Tantang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi Undang-undang. Pasal 187B dengan jelas disebutkan bahwa ; “Anggota Partai Politik atau anggota gabungan Partai Politik yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.

Sedangkan pasal 187C disebutkan bahwa ; “Setiap orang atau lembaga yang terbukti dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum memberi imbalan pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota maka penetapan sebagai calon, pasangan calon terpilih, atau sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota atau Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47        ayat (5), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan pidana penjara paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.

Dengan demikian bahwa larangan memberikan atau menerima imbalan dengan istilah “mahar politik” dengan tegas dilarang pada proses pencalonan pemilihan Gubernur, Bupati maupun Wali Kota dalam kontestasi Pilkada tahun 2020. Memberikan atau menerima imbalan merupakan perbuatan melawan hukum. Sanksi pidana penjara dan sanksi adminitratif pembatalan calon atau denda dapat diterapkan kepada pelaku maupun calon. Sarana penindakannya dengan mengoptimalkan sinergitas Pengawas Pemilihan dan Aparatur penegak hukum yang tergabung dalam Sentra Gakkumdu untuk menindak Pelanggaran Pidana Pemilihan.  Akan tetapi ruang dan waktu peristiwa/perbuatan  memberi atau menerima imbalan memungkinkan juga terjadi diluar proses pencalonan atau tahapan pemilihan, sementara dalam PKPU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program dan Jadwal penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali kota Tahun 2020, bahwa proses pencalonan yang dimulai dari pengumunan pendaftaran, penetapan dan pengundian nomor urut calon dilaksanakan mulai tanggal 16 Juni s.d 09 Juli 2020. Permasalahan ini menjadi permasalahan hukum pemilihan ataupun hukum pidana lainnya yang menjadi kajian tersendiri. Oleh karena itu memaksimal upaya mencegah pelanggaran sebelum proses pencalonan menjadi sangat penting karena kewenangan dalam penindakannya cukup terbatas. Upaya pencegahan sebelum proses pencalonan dapat dilakukan dengan upaya :

  1. Mengajak partai politik untuk menolak pemberian imbalan atau mahar politik dari setiap orang, anggota Partai politik atau lembaga dalam bentuk apapun.
  2. Menghimbau Partai Politik atau bakal pasangan calon untuk bersama sama melawan dan menolak mahar politik atau imbalan dengan membuat fakta integritas sebagai komitmen moral.
  3. Menghimbau bakal calon atau figure-figur yang dicalonkan untuk mengikuti proses penjaringan, rekrutmen pendaftaran dan proses pencalonan dengan jujur dan terbuka.
  4. Mengajak dan menghimbau pihak-pihak yang berkepentingan untuk tidak berusaha mempengaruhi proses di partai Politik dengan cara-cara yang tidak jujur dan melawan hukum.
  5. Mengajak seluruh elemen masyarakat untuk terlibat mengawasi, mencegah dan melaporkan dugaan pelanggaran dalam proses pencalonan kepada pihak yang berwenang.

 Oleh :Afrizal, S.Pd.I., M.H Anggota Bawaslu Provinsi Jambi

 



Tags:


BERITA BERIKUTNYA